31/10/2009

Tantangan Bagi Arsitek Indonesia


Dalam mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global, ketika sekarang orang ramai membicarakan perubahan iklim dan penghematan energi, maka sebenarnya dunia arsitektur Indonesia sudah lama memikirkan hal tersebut. Pada tahun 1980 an para arsitek Indonesia bergelut dengan topik "Arsitektur Tropis" yang bertujuan memanfaatkan sebesar mungkin keuntungan geografis Indonesia di daerah tropis guna mengurangi pemakaian energi di dalam bangunan. Sekarang yang dibicarakan menjadi "Green Architecture" ataupun "Sustainable Architecture" yang sebenarnya merupakan penyempurnaan dari prinsip-prinsip dasar yang terbahas dalam "Arsitektur Tropis" dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dalam pergerakan arsitektur global.

Sebagai negara di kepulauan Nusantara yang senantiasa berlimpah matahari maka penghematan energi listrik bisa diperoleh dengan pemanfaatan sinar matahari yang senantiasa menghiasi kathulistiwa.

Pemanfaatan sirkulasi udara di dalam ruang juga menjadi salah satu hal penting dalam bahasan arsitektur tropis. Dalam bahasan terkini mengoptimalkan sirkulasi udara alami terutama berkaitan dengan kemampuannya mereduksi pemakaian energi di dalam bangunan.

Sebagai penghuni daerah yang terletak di daerah pegunungan berapi "the Ring of Fire", nenek moyang bangsa Indonesia sudah dengan arif menyiasati konstruksinya yang memiliki sambungan-sambungan tanpa paku yang kuat tapi lentur terhadap getaran.

Sebuah seminar diadakan oleh Tabloid Rumah bersama Departemen Arsitektur Universitas Indonesia dan Glow Alliance pada tanggal 27 November 2007 bertemakan "Design and Survive: The Role of Architect in Response to Climate Change". Selain seminar juga disalenggarakan pameran yang masih berlangsung sampai tanggal 2 Desember 2007.

Isi seminar tersebut ternyata sangat menarik bagi saya yang sudah cukup lama tidak terlibat dalam aspek akademis bidang arsitektur. Peran arsitek dalam menghadapi masalah perubahan iklim dibahas oleh beberapa ahli dengan penekanan yang berbeda-beda.

Sesi Pertama diisi oleh empat pembicara. Pembicara pertama Bapak Ridwan Tamin dari Departemen Lingkungan Hidup sebagai wakil dari birokrat banyak menyoroti pencemaran udara perkotaan dalam kaitannya dengan transportasi. Pemanasan global termasuk di dalamnya akibat polusi kendaraan akan menyebabkan berkurangnya kenyamanan hidup lingkungan perkotaan.

Bapak Zenin Adrian yang mewakili kalangan peneliti memberikan masukan dari studinya mengenai pergerakan arsitektur yang mendukung terciptanya Green Building. Demikian juga contoh-contoh dari desain dan material yang digunakan di luar negeri sebagai pengantar memasuki tema arsitektur yang berkesinambungan ini.

Setelah itu Bapak Abimanyu T. Alamsyah sebagai wakil dari akademisi mengajak peserta seminar untuk melihat kemungkinan akibat dari pemanasan global terhadap pendekatan desain di daerah kepulauan seperti Indonesia ini. Desain yang dihasilkan selain memerlukan pendekatan yang teringrasi antar beberapa bidang studi juga sangat perlu memikirkan kondisi lingkungan lokal.

Satu hal menarik yang saya catat adalah bahwa salah satu efek dari kenaikan permukaan air laut bagi pesisir Jawa adalah posisi Sunda Kelapa yang akan lebih potensial sebagai pelabuhan laut dalam disbanding Tanjung Priok. Melihat kondisi Sunda Kelapa yang daerah sekitarnya saat ini (November 30, 2007) terendam sedalam 60 cm mengingatkan saya pada pembicaraan di seminar ini. Betapa banyak studi yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pemanasan global yang secara langsung akan berdampak pada kemungkinan perubahan perencanaan kota di kemudian hari. Hal ini merupakan satu hal penting yang perlu diantisipasi oleh para perencana kota. Topik bahasan yang dikemukakan di dalam seminar ini memang sangat global. Mungkin beberapa peserta yang datang dengan harapan mendapat lebih banyak masukan dalam segi desain arsitektural agak kecewa. Tapi, seperti yang dikemukakan oleh beberapa pembicara dalam seminar ini bahwa kesadaran akan pentingnya pendekatan yang terintegrasi antar beberapa bidang studi sangat diperlukan menghasilkan inovasi desain yang mendukung terciptanya Green Building maupun Sustainable Architecture.

Pembicara terakhir yang menutup sesi pertama ini adalah Bapak Aloysius Wisnuhardana mewakili LSM. Yang menjadi penekanan utama dalam pembicaraan kali ini adalah pentingnya menggugah kesadaran masyarakat untuk menyadari peran sertanya dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global. Berbagai gambaran tentang pencairan es ditampilkan, termasuk juga pada kenyataan bahwa pada 2006 salju abadi di Puncak Jayawijaya sudah tidak tampak lagi. Keberhasilan menarik minat masyarakat seperti yang diperlihatkan dalam kegiatan Tabloid Rumah mengolah limbah sampah cukup tinggi, sehingga kemudian juga diperlukan kesadaran dan bantuan dari pihak produsen atau industri untuk mendukung kegiatan masyarakat ini.

Bidang studi arsitektur memang terkait dengan berbagai aspek dalam perencanaan dan pengembangan lingkungan binaan manusia. Sudah waktunya mahasiswa arsitektur serta orang-orang yang bergelut dengan dunia arsitektur baik akademisi maupun praktisi untuk menyadari perannya dalam menjadi motor penggerak dalam memperbaiki kesadaran akan pentingnya gerakan-gerakan seperti gerakan untuk hemat energi dalam konteks memperbaiki kualitas hidup bersama.

Dalam sesi kedua Bapak Gunawan Tjahjono dan Bapak Yandy Andri Yatno (keduanya dari Universitas Indonesia) banyak memberikan saya pencerahan pada masalah-masalah pendidikan dan proses pembelajaran calon arsitek Indonesia dalam menghadapi tantangan-tantangan desain secara global. Terus terang saya baru tahu kalau pada saat ini jurusan arsitektur di universitas hanya belajar selama 8 semester. Terdapat perbedaan antara kesepakatan lama pendidikan selama 5 tahun belajar dan 2 tahun magang yang dianut oleh Ikatan Arsitek Indonesia untuk sertifikasi Surat Izin Bekerja Perencana (SIBP) dengan kenyataan pendidikan 4 tahun yang ada sekarang. Diperlukan kiat-kiat dan kesepakatan bagi masa depan pendidikan Arsitektur di Indonesia agar dapat bersaing secara global.

Kedua pembicara tampaknya menekankan kompetensi mahasiswa arsitektur untuk dapat memahami dengan baik kebutuhan-kebutuhan lokal yang sesuai dengan masanya, serta bagaimana anak-anak teknik ini juga perlu menguasai cara berkomunikasi dan mempresentasikan ide-ide mereka dengan baik. Seorang peserta seminar mengomentari bagaimana arsitek baru yang mereka terima bekerja biasanya sangat idealis dan melupakan unsur komersial sebuah proyek. Dari pengalaman saya pribadi dan pengamatan pada teman-teman lainnya, memang masalah manajemen sumber daya manusia dan manejemen keuangan merupakan tantangan yang sangat berat bagi para arsitek yang berwirausaha, baik sebagai arsitek perencana maupun sebagai kontraktor. Tentunya ini adalah tantangan yang tidak terlalu disadari bila bekerja dalam tim di perusahaan besar, tapi bisa menjadi masalah bagi pengelola manajemen perusahaan seperti yang disampaikan oleh peserta tersebut.

Bapak Jimmy Priatman (dari Universitas Kristen Petra, Surabaya) memberikan gambaran dari Green Building Conference yang diikutinya di New York. Bagaimana penerapan protokol Tokyo untuk mengurangi emisi karbon global dalam perencanaan dan pembangunan Green Building. Potensi Indonesia dengan kekayaan sinar matahari sepanjang tahun bisa menjadi potensi untuk mengembangkan solar architecture. Beberapa waktu yang lalu saya melihat sebuah tayangan televisi dimana Perancis memberdayakan kembali sebuah tempat pengumpulan energi yang berasal dari matahari setelah bertahun-tahun terbengkalai. Dahulu harga produksi energi dengan fasilitas ini masih terlalu mahal, sekarang dengan kenaikan harga minyak global maka biaya produksi tenaga matahari ini menjadi diperhitungkan kembali. Dengan teknologi yang tepat bisa jadi kita malah bisa mengimpor listrik tenaga matahari?!

Pembicara terakhir dari Philips memperkenalkan lampu baru hemat energi yang disebut Light Emitting Diodes (LEDs). Lampu yang digambarkan pak Sinta memberikan dimensi cahaya yang lebih indah kepada menara Eiffel ternyata saya baca menjadi trend baru lampu Natal dalam upaya penghematan energi. Jadi kalau biasa kita mengenal istilah White Christmas, maka sekarang yang ada adalah Green Christmas bukan dari hijaunya sang pohon, tapi dari pengurangan jejak karbon dalam pemakaian lampu-lampunya.

Acara terakhir rupanya ditunggu-tunggu para mahasiswa peserta sayembara Lomba Desain Rumah Kecil Hemat Energi dari Tabloid Rumah. Yaitu acara penyerahan hadiah sayembara. Juri yang hadir adalah bapak Adi Purnomo dan bapak Titovianto. Yang beruntung menarik perhatian juri untuk meraih penghargaan pertama adalah desain yang mengemukakan topik breathing house hasil desain Eguh Murthi Pramono seorang mahasiswa dari Universitas Sebelas Maret. Penghargaan diberikan oleh Ibu Erna Witoelar, Duta Besar Khusus PBB untuk Millenium Development Goals di Asia Pasifik.

Semoga saja kesadaran yang timbul dari seminar ini bukan lagi sekedar pembangkit kesadaran akan makna tindakan kita bagi masa depan bumi dan manusia, melainkan menjadi dasar tindakan nyata bersama masyarakat global untuk menyelamatkan kelangsungan kenyamanan hidup di bumi.



Oleh: Retty N. Hakim, wikimu.com