31/10/2009

SABRINA (CERPEN)

Tags


"EPISODE CINTA 1 : SABRINA"


Sabrina Nur Laily. Sabrina cahaya malam. Ah, cocok sekali namanya. Ia memang bersinar, tapi sinarnya tak menyilaukan.

Aku pertama kali mengenalnya saat masa orientasi mahasiswa baru dan penataran P4. Seluruh mahasiswa baru dikumpulkan, lalu dibagi dalam beberapa kelompok dan regu. Aku satu regu dengannya.

Sabrina, anak dari Fakultas Teknik itu, ternyata pandai berdebat. Diskusi dalam regu lebih mirip pertarungan satu lawan satu antara aku dan dia. Yang lain berfungsi sebagai penonton. Yang berpikir-pikir akan memihak aku atau dia. 

"Aku nggak setuju sama Pancasila. Memang dia itu apa? Agama? Ideologi yang benar itu Islam." Gadis yang selalu memakai rok dan  jilbab lebar itu berkata penuh semangat. 

Aku melirik ke semua anggota regu. Untungnya kita muslim semua. Kalau tidak, wah bisa rame nih.

"Iya. Tapi Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika. Ada lima agama yang diakui negara. Pancasila berfungsi mempersatukan perbedaan-perbedaan itu. Indonesia bukan negara agama." Aku pun tak kalah bersemangat.

Begitulah awal perseteruan kami. Aku si Pembela Pancasila dan Sabrina si Pejuang Islam. Sabrina pasti jenis Islam yang "begitu", pikirku. Aku tidak menemukan definisi yang tepat dengan "begitu" yang aku maksud. Masa itu jumlah jilbaber masih sedikit sekali. Jadi jilbaber identik dengan Islam yang "begitu".

"Hukum negara itu buatan manusia. Nggak mungkin adil. Hukum Allah yang paling adil. Syariat Allah harus ditegakkan." Seperti biasa, Sabrina berapi-api.

Eitss, biar masih culun begini, aku sudah resmi jadi mahasiswa Fakultas Hukum. Baru tadi pagi kartu mahasiswanya dibagikan.Aku mulai terbakar.

"Keadilan? Di Pancasila juga ada. Nggak inget ya? Sila kelima." Aku menyindir. "Hukum itu tergantung dimana dia diletakkan. Hukum turut mengakomodasi budaya dan adat setempat. Maka itu ada hukum adat. Kalau disahkan, ia jadi hukum yang mengikat."

"Kalau begitu, hukum sifatnya relatif?" tanyanya. 

"Ya. Seperti di Amerika Serikat, negara federal. Setiap negara bagian mempunyai hukum sendiri-sendiri yang berbeda dengan negara bagian lain. Yang penting hukum disepakati dan disahkan." Uhh, gayaku menerangkan layaknya pengacara kondang saja.

"Kalau relatif, dimana letaknya keadilan?

"Keadilan itu ketika setiap orang berusaha menegakkan hukum-hukum yang berlaku di wilayah tersebut."

"Sumber hukumnya apa? Darimana?"

"Sumber hukumnya banyak. Hukum yang sudah berlaku sebelumnya, adat, norma, kebiasaan yang ada di wilayah tersebut. Kalau di Indonesia, nggak perlu ditanya. Kan baru kemarin materinya. Ada Pancasila, UUD 1945, UU, dan yang lainnya. Kamu kemarin pasti nggak nyimak deh!"

"Memang yang menciptakan Pancasila siapa?" Sabrina tetap memburu.

"Uh pakai nanya. Kalimat retoris. Aku nggak mau jawab!" tukasku.

"Kalau yang jadi sumber hukum saja buatan manusia, bagaimana mungkin bisa tercipta keadilan? Sumber hukum hanya Al Quran dan Sunnah." Suara Sabrina melunak. "Dari kedua sumber hukum itu, bisa ditarik berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hukum masalah ibadah maupun hukum dalam hubungan antar manusia. Kalau mau diteliti lebih lanjut, ada banyak hikmah dibalik hukum-hukum Islam. Seperti qishash, potong tangan, rajam. Memang perlu waktu untuk memahaminya."

Aku diam, yang lainnya juga. Sabrina melanjutkan. "Hukum di Indonesia hanya mengakui yang sudah tertulis. Hukum Pidana secara formal adalah peninggalan Belanda. Dengan kata lain sebenarnya untuk kasus pidana tidak ada yang berdasarkan adat atau kebiasaan setempat. Sedangkan hukum Islam itu universal, berlaku untuk siapa saja. Mencakup segala segi kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Pokoknya komplit. Kesimpulannya Pancasila nggak pantas jadi sumber hukum karena buatan manusia."

Rupanya anak Teknik yang satu ini pintar berceloteh tentang hukum. Jangan-jangan Sabrina salah masuk jurusan? "Eh, nanti dulu. Pancasila itu pemersatu dari Indonesia yang heterogen. Jangan lupa kemajemukan kita," aku menukas.

"Iya nih Sabrina. Bagaimana dengan agama lain. Kita nggak boleh egois begitu," ujar salah satu teman seregu menimpali.

"Islam itu rahmatan lil 'alamin. Islam pemersatu dan melindungi agama-agama lain. Contoh kongkritnya ada di masa Rasulullah dan kekhalifahan Islam." Sabrina tak mau kalah.

"Ah, sudah nggak usah bawa-bawa agama deh! Sabrina tuh aliran Islam fundamentalis ya?"

"Nggak usah ribut-ribut. Pokoknya ditulis, dikumpul, dapet A. Beres!"

"Bener tuh! Ribut amat sama Pancasila. Gue kagak ngarti dah. Bukan urusan gue."

Serentet komentar meluncur keluar dari bibir teman-teman seregu. Dari tadi mereka bungkam, sibuk mengunyah snack yang dibagikan panitia penataran. Waktu yang tersisa tidak banyak lagi. Hasil diskusi harus segera dikumpulkan. Semua sependapat denganku, kecuali Sabrina. Aku bersemangat merangkai kata hasil diskusi. Salah satu teman mencatat perkataanku. Kami tidak memperdulikan Sabrina yang duduk diam memperhatikan kami. Hahaha, aku merasa di atas angin sekarang. 1-0 pikirku. Yang banyaklah yang menang. Namanya juga demokrasi.

Sebetulnya Sabrina orangnya enak diajak bicara. Pikirannya cerdas. Kadang aku mencoba memulai percakapan ringan. Tapi sayang, kami terlanjur saling beroposisi. Layaknya Tom & Jerry. Geram sekali aku kalau melihat Sabrina tetap teguh pada pendiriannya. Padahal jelas-jelas dia kalah. Satu regu mana ada yang mendukung pendapatnya. 

"Keras kepala! Egois!" desisku sambil melotot. "Akui saja kekalahanmu Sabrina."

"Ini bukan soal menang atau kalah. Pijakanku kuat, landasanku kokoh. Hati-hati, justru kamu yang akan jatuh. Toh aku tidak pernah memaksakan pendapatku pada siapa pun. Kamu bebas. Mau tetap berpendapat seperti itu, itu urusanmu." Gayanya seperti orang yang acuh tak acuh. Huh sombong, pikirku.

Sehabis masa orientasi dan penataran P4, praktis aku hampir tak pernah bertemu lagi dengan Sabrina. Jarak antar fakultas di kampusku lumayan jauh. Cukup lumayan kalau berjalan kaki. Dan lagi, aku tidak punya urusan yang mengharuskanku ke gedung Fakultas Teknik.

Lima semester kemudian, aku mulai memahami apa yang pernah Sabrina ucapkan. Aku bukan lagi si Pembela Pancasila. Tapi tak cocok juga disebut Pejuang Islam. Pergaulanku mulai merambah ke mushola dan masjid kampus. Daus, temanku satu jurusan, yang menculikku dan menceburkan aku ke kehidupan bernuansa Islami. Isi otak Daus tak berbeda jauh dengan Sabrina. Jenis Islam yang "begitu". Bedanya, Daus sabar meladeni sikapku. Dia selalu saja bisa mematahkan serangan argumenku yang membara. Pemahamanku tentang Islam mulai bergerak perlahan. Merayap, merangkak, dan tertatih-tatih. Aku paham sekarang. Ternyata akulah si egois dan keras kepala itu.

Universitas akan mengadakan perhelatan akbar. Forum silaturahmi antara mahasiswa muslim seluruh Indonesia. Daus menyeret aku ke dalam kepanitiaan. Jadilah aku di seksi transportasi. Lebih tepatnya, aku jadi sopir yang siap mengantar panitia untuk mengurus segala macam urusan kesana kemari. Untuk sementara, selama aku di kampus, Audi A4 merah milikku jadi aset panitia. Kalaupun aku sedang ada jam kuliah, mobilku boleh dipakai anak lain untuk urusan penting. Tentu saja dengan pendahuluan wejangan berhati-hati plus ancaman kalau ada apa-apa dengan si Audi tersayangku.

"Sabrina," ucapku lirih melihat sosoknya. Aku baru melihatnya di rapat kali ini. Rapat yang lalu ia tak muncul. Ia bertugas sebagai koordinator seksi yang harus menghubungi universitas se Jakarta.

Seusai rapat aku menyapanya. "Sabrina, apa kabar? Masih ingat aku?"

"Bibirnya membentuk lengkung indah bak pelangi terbalik. "Alhamdulillah. Kabarku baik. Bagaimana kabar si Pembela Pancasila?"

Kami tertawa bersama. "Ah, jangan begitu. Aku juga baik-baik. Aku mau minta maaf atas semua yang dulu-dulu. Aku mengaku kalah. Ternyata kamu yang benar."

"Tidak ada yang kalah atau menang. Memangnya siapa yang bikin pertandingan?"

"Hahaha. Ya....siapa ya? Eh...bagaimana kuliahmu?" Aku balik bertanya.

"Lancar-lancar semua. Sekarang lagi banyak tugas. Kamu?"

"Lagi getol-getolnya belajar. Aku nggak mau kalah sama anak Teknik yang ngerti Hukum. Betul nggak?" godaku.

"Semangat belajarnya bagus. Cuma, apa di otak kamu nggak ada persoalan lain selain menang dan kalah?"

Aku tergelak tapi tak menjawab. "Kamu panitia juga?" tanyanya. Kujawab dengan anggukan. "Kalau begitu selamat bekerja. Sukses ya!!!" katanya. Sedetik kemudian ia sudah berlari menyusul temannya.

Beberapa kali Sabrina dan timnya harus mendatangi kampus-kampus di seputar Jakarta. Posisi di bagian transportasi mengharuskanku mengantarnya. Dengan senang hati aku menjalankan tugas. Kami selalu pergi beramai-ramai. Aku mulai bisa menangkap sisi lain dari Sabrina. Orangnya lumayan kocak.

Aku menoleh dengan cepat. Ujung bola mataku menangkap sekilas sosok Sabrina. Yah, itu memang dia. Meski dari belakang setiap akhwat tampak serupa, tapi kuyakin itu ia. Lambaian ujung jilbabnya. Sosok tubuhnya. Caranya mengayunkan langkah. Aku jadi kaget sendiri. Sebegitu dalamkah Sabrina tersimpan dalam memoriku?

Acara akbar itu telah usai. Aku tak pernah lagi bertemu Sabrina. Kecuali beberapa kali aku melihatnya dari kejauhan saat aku sedang sholat di masjid kampus. Seperti saat ini.

Aku terpekur diam. Sekilas tampak bagai orang sedang berzikir. Tapi tidak. Tepatnya aku sedang melamun. Bingung. Aku dilanda penayakit aneh. Satu saat aku merasakan ekstasi. Perasaan melayang yang bergelora. Kadang-kadang ada sedikit rasa nyeri di dada, lalu seperti dikerumuni semut-semut kecil, dan ada rasa nyaman yang mengalir ke seluruh tubuh. Tidak jarang pula aku senyum-senyum sendiri. Semua karena sebuah nama. Sabrina.

Ia tak bagai bidadari. Bidadari seperti apa wujudnya aku juga tidak tahu. Yang pasti ia jauh dari sosok Cindy Crafword, apalagi Pamela Anderson. Hahhh?? Ngaco pikiranku. Apa miripnya. Kalau Cindy Crafword pakai jilbab, yah....agak-agak mirip juga dengan Sabrina. Yang mirip...jilbabnya. Wah! Pikiranku makin tak karuan.

Cantik? Cantik itu relatif, kata banyak orang. Jaman Renaissance, cantik identik dengan tubuh besar dan pipi tembem berisi. Masa sekarang, cantik adalah ramping bak sosok boneka Barbie. Bagiku dia cantik. Sorot matanya tajam tapi teduh, alisnya tebal, bulu matanya lentik, bibirnya merah. Belum lagi ia cerdas dan wawasannya luas. Yah, dia memang tak seperti bidadari. Tapi, urusan jatuh cinta kan tidak ada hubungannya dengan sosok bidadari. Uppsss!!! Apa kataku tadi? Jatuh cinta?!

Aku termangu-mangu dalam posisi bersila. Sebuah tepukan hangat mendarat di punggungku. "Hei jangan melamun!"

Aku menoleh. Ternyata Daus. "Sudah sholat?" Aku mengangguk.

"Aku cari-cari kamu kemana-mana. Rupanya sekarang kamu lebih sering sholat di masjid kampus daripada di mushola fakultas."

Daus memandang lekat ke mataku. "Ada apa? Ceritalah. Aku melihat sesuatu di matamu." Daus ini, firasatnya memang tajam. Selalu tahu kalau aku sedang ada yang dipikirkan.

"Puyeng nih!!" kataku mendengus. 
"Just tell me. I'll be a shoulder to cry on," Daus nyengir sambil menepuk-nepuk pundaknya sendiri.
"Huuu....Kapan aku pernah nangis di pundakmu? Eh aku lapar nih! Kita makan yuk, sambil cerita. Tenang saja, kutraktir."

Kali ini tujuan kami adalah restoran bakmi langgananku yang lokasinya tidak terlalu jauh dari kampus. Setelah sampai, memesan makanan dan minuman, barulah aku pada kondisi siap menumpahkan perasaanku. Daus duduk di depanku. Genggaman tangannya menopang dagunya yang ditumbuhi jenggot, dan sikunya menjadi tumpuannya. Aku hafal gayanya. Ia siap "to be a shoulder to cry on". Lalu tumpah ruahlah semuanya. Mulai saat perjumpaanku pertama kali dengan Sabrina, hingga rasa yang melandaku akhir-akhir ini. 

Selesai aku bercerita Daus tertawa. "Hahaha, sobatku ternyata terkena virus merah jambu."
namun, begitu tawanya selesai, Daus menatap mataku dalam-dalam. "Kamu serius sama Sabrina?"
"Serius?" tanyaku mengernyitkan dahi.
"Kamu jatuh cinta sama dia? Kamu serius?" tanyanya lagi.
Aku menarik nafas dalam lalu menghembuskannya lagi. "Jatuh cinta.....ya! Serius......mmm....apa maksudmu dengan serius?"

"Serius ya serius. Kalau kamu serius, sudah cepetan nikah saja!"
"Hahh?! Nikah? Belum pernah ada sejarah dalam keluargaku anak ingusan semester lima mau nikah," tukasku. "Kalau kasih saran yang rasional dong!"

"Kurang rasional apa lagi? Kalau sudah punya perasaan macam begitu, daripada macam-macam, lebih baik nikah saja. Terhindar dari zina, halal pula."
"Kamu ngomong begitu 3 tahun lagi. Pasti akan langsung kulamar dia. Kalau sekarang? Nggak mungkin!" 

Kusulut sebatang rokok untuk meredakan kekalutanku. Daus sudah sering memperingatkanku, "Awas kalau asapnya sampai terhisap olehku. Itu namanya sudah menzholimi orang lain. Aku tuntut kamu nanti di Yaumil Akhir." Betapa seram ancaman Daus. Daripada berdebat, daripada dituntut di akhirat, biasanya aku memilih tidak merokok di hadapannya. 

Tapi kali ini lain. Tumben, Daus tidak melarangku merokok. "Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Daus. Bahunya bersandar ke kursi, menjauh dari kepulan asap rokokku. 
Mataku menerawang. "Aku nggak tahu."
Bakmi pesanan kami datang. Tapi, aku tidak lagi berselera. 

"Memangnya tidak boleh kalau aku jatuh cinta? Apa jatuh cinta itu dosa?" ucapku setelah menyedot jus alpukat yang langsung habis.
"Tidak. Tapi cinta perlu dimanajemen agar tidak berubah menjadi dosa. Kita yang harus menguasai cinta. Bukan cinta yang menguasai kita."

"Aku toh tidak berbuat apa-apa. Bagaimana akan jadi dosa? Gini-gini aku masih bisa membedakan mana yang dosa dan mana yang tidak." Sifat keras kepalaku mulai keluar. Daus diam, sibuk dengan bakminya.
Kini aku menyulut batang ke dua. "Aku akan bilang perasaanku ke Sabrina. Berani taruhan berapa? Aku yakin dia pasti akan jadi kekasihku."

Daus mendongak. "Eh, apa maksudmu? Jangan macam-macam dengan Sabrina."

"Ah lihat saja," kataku mencibir. "Cepat atau lambat, Sabrina pasti aku dapatkan."
Daus menarik nafas panjang. "Kamu lupa bahwa tidak ada pacaran dalam Islam?" 
"Masih ingat. Tapi, kalaupun aku pacaran dengan Sabrina, pasti nggak akan terjadi apa-apa. Percaya deh. Memang mau ngapain sih?" kataku meyakinkan Daus. 

Daus lalu berceloteh tapi tak lagi kudengarkan. Ditelingaku suaranya lebih mirip nenek-nenek nyinyir yang bicara tanpa koma dan titik. Sedang pikiranku melayang-layang......kepada Sabrina. 

Hari-hari selanjutnya aku melancarkan aksi pedekate alias pendekatan. Aku semakin rajin sholat di masjid kampus, walau sebenarnya jaraknya tidak dekat dari fakultasku. Biasanya kutunggu sampai Sabrina and the gank selesai dari sholat. Lalu aku lewat di depan mereka, menyapa Sabrina dan mengajaknya ngobrol.

Suatu siang yang terik, saat aku mengemudikan mobil keluar dari kampus, aku melihat Sabrina berdiri di halte bus. Sendirian. Wah kesempatan nih, pikirku. 
Kulambatkan mobil dan kuturunkan jendela kiri dari panel dekat persneling. Mobilku berhenti tepat di sampingnya. 
"Hai Sabrina, mau kemana?" sapaku nyengir.
"Mau pulang."
"Ayo ikut aku sekalian. Aku antar deh sampai di rumah." Aku mencoba menawarkan tumpangan.
"Terima kasih. Tapi nggak usah repot-repot. Eh....dari jauh itu sepertinya bisku. Aku naik bis saja." Tangannya menunjuk ke arah belakang.
Mataku melirik ke kaca spion yang tergantung di depan. Tak tampak bis di sana
Kubuka pintu mobil dari dalam. "Mana bisnya? Daripada panas-panas naik bis, lebih baik sama aku. Aku siap kok mengantar Sabrina kemana saja." Kukeluarkan jurus-jurus rayuanku.

"Nggak deh. Makasih tawaran kamu. Tapi aku nggak bisa."
"Ayo masuk. Kamu kepanasan tuh!" Kulihat diatas alisnya ada butir-butir keringat mengucur. Sabrina tak bergeming.
"Kenapa sih kamu?" tanyaku mulai tak sabar.
"Maaf, aku nggak bisa."
"Kenapa?"
"Aku nggak mau berdua saja dengan kamu di dalam mobil. Kecuali seperti dulu. Kita beramai-ramai dan pergi memang ada keperluan. Maaf. Aku naik bis saja." 
Ternyata dia masih saja tetap teguh kalau punya pendirian. Sabrina tidak berubah. Aku mengatupkan gerahamku. Kesabaranku habis sudah. Kubanting pintu mobil lalu kularikan Audiku dengan suara menderu.
Huh! Beraninya dia menolak tawaranku. Aku mendidih.

Esok harinya, di kampus, begitu bertemu Daus, langsung saja kutumpahkan kekesalanku. Kuceritakan kejadian kemarin bersama Sabrina. 
Daus malah nyengir sambil geleng-geleng kepala. "Kamu yang salah. Sabrina kok dirayu."
"Lho?! Aku hanya menawarkan diri mengantar dia pulang. Apa salahnya?"
"Jelas dong. Dia nggak mau berduaan di mobil sama kamu."

"Siang-siang bolong. Memangnya aku mau ngapain sama dia? Apa aku ada tampang pemerkosa?" Aku tambah kesal.
"Bukan begitu. Dan tidaklah perempuan dan laki-laki berduaan tanpa disertai muhrimnya, melainkan yang ke tiga adalah syetan." Daus mulai berkhotbah. "Islam mengajari untuk menutup segala kemungkinan sejak awal. Sabrina pasti tahu hal seperti itu. Dia menolak naik mobil berdua kamu untuk mencegah segala macam hal."

"Apa sih yang harus dicegah? Apa salahku? Kamu nggak percaya sama aku?"
"Kalau Sabrina kemarin mau diantar, pasti kamu nggak akan berhenti sampai di situ kan?" tanya Daus.
"Hehehe...iya dong! Kalau dia mau, tiap hari kuantar dan kujemput juga boleh." 
"Hmm....dan kalau Sabrina juga mau diantar dan dijemput tiap hari?" tanya Daus lagi.
"Berarti tinggal satu langkah lagi dan dia akan jadi pacarku," kataku penuh nada kemenangan.

"Pacar? Ngaco kamu!" Mata Daus membelalak. "Pacaran itu mendekati zina."
"Aku janji deh akan menjaga Sabrina sebaik-baiknya. Aku kan sayang sama dia."
"Apa kamu yakin?" Kening Daus berkerut. "Kamu yakin bisa mengatasi keinginan untuk saling berdekatan? Kamu yakin nggak ada dorongan dalam diri kamu untuk menggandeng tangannya? Kamu yakin bisa mengatasi nafsumu ketika hanya berdua, nggak ada orang lain, sedang kamu ingin menciumnya?"

Aku diam, berpikir sebentar. "Suer deh. Dia nggak akan kusentuh. Paling banter kita jalan-jalan ke mal, ngobrol-ngobrol." Aku berusaha meyakinkan Daus kalau aku pacaran dengan Sabrina pasti tidak akan ada apa-apa.

"Oke. Satu tahun mungkin bisa seperti itu. Tapi, tahun ke dua pacaran, tahun ke tiga? Katanya tiga tahun lagi baru mau nikah. Selama tiga tahun pacaran itu....beneran nih kamu sanggup? Yakin nih sama-sama cinta sudah tiga tahun pacaran bisa tahan cuma liat-liatan?" Daus menepuk pahaku. "Yakin nih? Ayolah, aku juga laki-laki. Jangan sok kuat iman."

Aku bungkam tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya.  
"Kalau aku sih pilih cara paling aman. Nikah, terus bebas ngapain aja sama istri. Kalau belum mampu nikah, ya puasa." Daus terkekeh.

Hmmm....sekarang saja rasa kangennya pada Sabrina sudah merambat ke ubun-ubun. Kalau lihat dia tersenyum atau cemberut rasanya jadi gemas. Lalu bagaimana kalau pacaran? Benarkah aku sanggup tidak menyentuhnya sama sekali? Bahkan sekadar mengandengnya saat menyeberang jalan misalnya. Aku mulai ragu pada diriku sendiri.

"Kupeluk ia dengan sepenuh buncahan rindu, namun terobatikah rindu setelah itu? Kukecup bibirnya demi melampiaskan tuntutan hati, namun ia justru semakin menjadi-jadi. Sepertinya kegelisahan jiwa tak bakal terobati. Selain jika dua ruh itu bersatu padu." Daus membacakan syair Ibnu Ar Rumi yang terkenal itu. 
"Percuma kalau pacaran. Dua ruh bersatu padu itulah pernikahan. Jangan nanggung friend!" kata Daus.

"Masih punya niat mau pacaran?" Daus meninju bahuku, pelan. "Yakin sabrina mau sama kamu? Ngaca dulu sana!"
"Tampang oke, otak encer, tongkrongan yahud begini apa yang kurang?" kataku pede.
"Sabrina nggak butuh cowok macem begitu. Kamu baca Al Quran tajwidnya masih belum beres. Makhrojnya juga masih belum tepat. Lancar juga enggak. Beresin dulu tuh. Makanya jangan suka males kalau diajak BBQ sama anak-anak."

"Ayo deh! Kalau begitu sekarang juga aku mau belajar," ujarku bersemangat.
"Deuuu....segitu semangatnya," goda Daus.

Berdebat dengan Daus memang percuma, karena dia memang benar. Dasar aku yang susah dinasehati. Kupikir, bodoh juga aku. Mana mungkin Sabrina mau diajak pacaran. Ah, kalau sedang dilanda cinta, akal pun sulit diajak kompromi. 

"Heh!" Daus menepuk lenganku keras. 
"Wadawwww!! Apaan sih bikin kaget begini?" protesku.
"Itu Pak Sugito udah keluar dari ruang dosen. Kita kan sekarang ada kuliahnya dia. Keasyikan ngobrol jangan sampai lupa kuliah dong!"
"Memang sekarang sudah jam berapa?" Aku melirik Rado di pergelangan tanganku. "Hahh iya! Udah jamnya. Cepetan lari. Nanti duluan Pak Sugito masuk kelas bisa-bisa kita nggak boleh masuk."

Lalu aku dan Daus terbirit-birit lari menuju kelas.

Hilang sudah keinginanku untuk memacari Sabrina. Sudah pasti ditolak! Aku pun mulai paham mengapa Islam melarang sesuatu hal. Setelah dicermati, ternyata besar sekali hikmah yang tersimpan di balik dilarangnya sesuatu. Waktu makan siang biasanya aku habiskan untuk diskusi dengan Daus, tentang banyak hal. Aku juga mulai rajin ikut kajian dan BBQ (Belajar Baca Quran). Bukan sekadar ber-say hello dengan anak-anak Rohis seperti yang dulu aku lakukan.

Perasaanku kepada Sabrina, tentu masih ada. Rindu itu sering menggelitik. Terkadang sebuah senyum dan seraut wajah terlukis di dinding ruang kelas atau kamarku. Tapi, seperti kata Daus, perasaan itu harus dimanajemen. Aku tak lagi menuruti hawa nafsu mencari-cari kesempatan bertemu Sabrina.

Dari kejauhan, tampak Daus menuju ke arahku dengan berlari-lari. Saat itu aku sedang di mushola sambil mengerjakan paper. "Sabrina...!!" Nafas Daus terengah-engah.

Tersentak aku, mendengar nama dia disebut. "Kenapa Sabrina?" "Sabrina kecelakaan!!" ujar Daus dengan nafas satu-satu.

"Hahh?! Yang benar kamu? Di mana?"

"Di halte depan kampus. Dia terseret dan jatuh waktu mau naik bis."

Wajahku pucat, kehilangan sebagian darahnya dan kehilangan kata-kata.

"Ayo cepat! Kita antar ke rumah sakit."

Dengan membereskan kertas-kertas dan memasukkannya dengan terburu-buru ke dalam ranselku. Aku, Daus, dan dua orang teman lagi yang ikut mendengar berita ketika di mushola, berlari menuju Audiku. Begitu kustarter, langsung kutancap gas menuju halte.

Di halte, masih banyak orang berkerumun. Di aspal ada ceceran darah segar. Masya Allah, jeritku dalam hati. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana keadaan Sabrina. Ternyata Sabrina sudah dibawa ke rumah sakit. Tanpa buang waktu lagi, kami menyusul ke rumah sakit.

Sabrina sedang berada di ruang ICU. Kami duduk di ruang tunggu. Sahabat Sabrina terlihat sangat shock. Ia menangis sesenggukan. Di sampingnya, beberapa akhwat sedang merusaha menenangkannya.

Ingin rasanya aku mendobrak pintu ruang ICU untuk dapat melihat kondisi Sabrina. Parahkan ia? Masih sadarkah ia? Namun aku tak punya kekuatan lagi. Aku hanya sanggup terduduk lemas. Daus berbisik di telingaku, "Berdoa! Terus berdoa!" Aku menurut. Mulutku komat kamit. Mengucap segala permohonan untuk Sabrina.

Seorang laki-laki berbaju putih keluar dari ruang ICU. "Teman kalian kekurangan banyak darah. Siapa di sini yang golongan darahnya A?" Aku mengacungkan jari, juga beberapa teman yang lain. "Kami minta kesediaannya untuk bisa menyumbangkan darahnya. Keadaannya sangat kritis. Tulang rusuk, tulang panggul, dan beberapa persendian patah. Di otaknya terjadi pendarahan."

Suara dokter itu terdengar sayup-sayup di kupingku. Pandanganku kabur. Pikiranku kalut membayangkan kondisi Sabrina.

"Ya Allah," bathinku menjerit. "Tolong selamatkan dia. Jangan Kau ambil nyawanya. Aku sungguh mencintainya."

Oh.....Andai Sabrina tahu apa yang tersimpan di dalam hati ini. Sabrina, mengertikah kau sebesar apa cintaku padamu. Sebesar bumi yang kita pijak. Seluas alam semesta. Dan sebesar cinta itu sendiri tanpa batas.

Sabrina, sadarkah kau sedalam apa sesungguhnya gejolak rasa ini. Sedalam kau gali bumi ini hingga ke belahan bumi yang lain. Sedalam hati ini. Dan sedalam kau pikir kau sanggup bayangkan.

Sabrina, andai kau tahu seperti apa getaran ini menyelimutiku. Jika kau terengah, aku bersedia serahkan nafasku. Jika kau terguncang, aku rela menjadi pijakanmu. Jika kau sekarat, aku mau berikan nyawaku, jiwaku, dan sepanjang urat nadiku. Andai boleh, aku ingin berada di sampingmu. Mengalirkan kehidupan kepadamu.

Baru saja aku selesai dari ruang transfusi lalu duduk di ruang tunggu. Laki-laki berjas putih itu keluar lagi dari ruang ICU. Ia memandangi kami satu persatu. "Maaf, kami sudah berusaha. Tapi Tuhan berkehendak lain. Teman kalian tidak bisa diselamatkan."

Rangkaian kalimat yang diucapkan dokter itu jadi sulit kucerna maknanya. Ah....mungkin aku salah menangkap maksudnya. Sabrina tidak meninggal kan? Dokter itu tadi tidak bilang seperti itu. Lalu........kata-kata dokter itu maksudnya apa????

Begitu pecah tangis di antara para akhwat, barulah aku sadar sesadar-sadarnya. Sabrina sudah meninggal. APPPAAAAAA???!!!! SABRINA MENINGGAL????!!! Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Tapi tidak. Teriakan itu hanya bathinku yang mampu mendengar. Teriakan yang menyisakan gumpalan yang menyesakkan hati. Aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Tapi tak ada air mata yang keluar dari mataku. Kelopak mataku terasa panas. Tubuhku limbung. Goyah. Daus merangkulku dari samping. Erat. Dan aku terduduk tanpa daya.

EPISODE CINTA 4 : IT'S SO HARD TO SAY GOODBYE TO YESTERDAY

Di pemakaman Sabrina, aku berdiri mematung. Tegak, kokoh, dan memandang lurus ke liang lahat tempat peristirahatan terakhir Sabrina. Jasad Sabrina tergeletak di dalam liang. Perlahan-lahan gumpalan tanah merah menimbunnya. Akhirnya jasad itu tak tampak lagi. Seusai doa-doa, para pelawat satu persatu pergi. 

Daus merangkul dan menggamit bahuku. "Ayo pulang!" Ditariknya tubuhku diajak berjalan. Namun aku tetap membatu dengan mata menerawang. Aku menggeleng pelan. 

Daus tetap mencoba menggerakkan tubuhku. "Ayolah! Kutemani kau pulang."
"Biarkan aku sendiri di sini." Akhirnya aku mampu bersuara.
"Untuk apa? Pemakaman sudah selesai. Ayolah!" Daus membujukku.
"Aku ingin di sini dulu. Tinggalkan aku! Kamu pulang saja duluan. Please.....?!"
Daus diam lalu merangkulku erat. "OK. Tapi jangan lama-lama. Cepat pulang. Aku agak khawatir dengan kamu. Sudahlah, lupakan Sabrina. Dia sudah pergi. Sekarang kita cuma bisa mendoakannya. Bagaimanapun perasaanmu terhadap Sabrina, kamu harus......." 
"Sssssttt.....!!" Aku menoleh, menatap mata Daus. Telunjukku membuat tanda di depan bibir, memintanya untuk diam. 
Daus menghela nafas. "OK, OK! Aku pulang. Assalamu'alaikum."
Aku menjawab salam dengan pandangan tetap lurus ke depan. Ke arah pusara Sabrina. Sabrina memang telah pergi. Tapi ia menorehkan sejuta kenangan dalam memoriku. 

Langit mendung yang sejak tadi bergayut, kini mencurahkan titik air kecil-kecil. Aku sadar waktuku di sini sudah habis. Aku berlari menuju mobilku. Di dalam mobil, aku merasa kosong melingkupiku. Rasanya dada ini jadi berongga besar sekali. Menyisakan rasa hampa yang memenuhi hingga ke sudut-sudutnya.

Aku tak tahu mau kemana. Kubiarkan saja arah putaran roda ini mengikuti kata hatiku. Saat aku ingin belok ke kiri maka kubanting stir ke kiri. begitu pula saat instingku berkata ingin ke kanan. Lalu aku memilih satu mobil di depanku, dan aku biarkan diriku mengikuti kemana saja mobil itu berjalan.

Tak terasa, setelah berputar putar, melewati berpuluh persimpangan, akhirnya mobil itu berhenti. Masuk ke sebuah rumah asri dalam sebuah kompleks di wilayah Bekasi. Jauh juga rupanya perjalananku. Aku pun menghentikan mobilku. Penumpang mobil itu kini telah keluar semua. Aku termangu bingung. Tak tahu lagi mau melakukan apa. Ah.....aku harus membuat tujuan lain. Jelas-jelas bukan ke sini tujuanku. Lalu kemana aku harus pergi? Yang pasti aku tak mau pulang ke rumah malam ini. Pulang dan membenamkan diri dalam kesunyian kamarku? Oh tidaaaakkk...! Yah...rasanya aku perlu mengobati kehampaan ini dengan keramaian. Sebuah tujuan terpola dalam benakku. Aku kini tahu kemana Audi ini harus mengarahkan haluannya. Jakarta Pusat. Hotel Borobudur. Musro.

Mobilku melambat memasuki tempat parkir. Tampaknya pengunjung malam ini banyak juga. Mobil-mobil keluaran terbaru berjajar rapi. Ketika melangkah turun dari mobil, aku sempat ragu. Sudah lama aku tak menjejakkan kaki di tempat ini. Tapi kutepis rasa itu. Sudahlah, aku butuh keramaian. Aku tak mungkin menghabiskan malam ini dengan digerogoti sepi.

Musik menghentak menyambutku, mulai menyapu rasa hampa. Aku duduk dan menyulut sebatang rokok. Waitress mendekat. Aku tidak lapar. Aku hanya ingin minum. Aku memesan fruit punch.

Malam makin pekat di luar. Di dalam suasana pun makin panas. Ternyata malam ini sedang ada party. Puluhan wanita cantik ber-dress code "white tank top & blue jeans pants" bergoyang histeris di lantai disko. Suara musik yang berdentam diusung oleh dua DJ handal dari luar negeri. Mataku nanar memandangi perempuan-perempuan pamer aurat di floor yang bergerak semakin liar. Sekumpulan pria tampak tak mampu lagi bertahan berdiam diri. Mereka ikut terjun ke floor, melebur dalam tarian panas. 

Seperti di pemakaman tadi, aku tetap membatu. Sesekali meneguk fruit punch dan menghisap rokokku. Waitress bolak balik menawariku bir. Tapi aku masih waras untuk tidak meneguk barang haram. 

Keramaian yang memekakkan telinga ini tampak tak menyisakan ruang lagi bagi yang namanya kehampaan. Bagaiamana mungkin masih ada partikel yang kosong sedang Musro kini penuh sesak? Namun di ujung lorong hati, tetap saja sunyi, kosong, hampa. Bahkan di tempat ini rasa hampa itu makin menjadi-jadi. 

Bayangan Sabrina berkelebat dalam benak. Sabrina, sosok yang anggun, bersahaja dan sangat terjaga. Benakku penuh dengan Sabrina. Di saat yang sama aku disuguhi pemandangan wanita-wanita bergincu dan berpakaian minim. Bagai bumi dan langit saja antara Sabrina dengan mereka. Tiba-tiba perutku mual. Muak dan jijik melihat perempuan-perempuan itu menggeliat erotis bagai cacing kepanasan. Aku bangkit dan bergerak dari mematungku. Aku tinggalkan hiruk pikuk ini dan segera melarikan Audiku ke tempat lain. Cuma satu tempat yang terpikir di otakku. Rumah Daus.

Sebetulnya bukan rumah Daus. Daus mengontrak bersama kawan-kawannya yang berasal dari berbagai pulau. Ini sudah jam 1 malam. Tapi aku tak peduli. Aku gedor pintu rumahnya. Untung saja wajah Daus yang muncul di balik pintu, bukan temannya. Daus melongo melihat aku yang kusut masai. 
"Masya Allah, ada apa malam-malam begini?"

"Malam ini aku mau nginap di sini." ujarku.
"Ya sudah. Ayo masuk!"
Selama ini aku belum pernah mampir dan masuk ke dalam kontrakan Daus. Paling-paling hanya mengantar Daus sampai depan pintu kontrakannya. 

Aku takjub melihat kamar Daus. Rapi, sederhana dan tidak banyak barang-barang. Tidak ada TV dan segala macam player. Tidak ada stereo set dengan speaker surround system-nya. Tidak ada PC dan segala peripheral-nya. Yang ada cuma meja belajar, kursi, tempat tidur, dan lemari baju dari kayu sederhana. Lalu buku-buku yang disusun dalam rak yang terbuat dari kardus bekas yang dilapis dengan kertas kado. 

Daus menggelar tikar di bawah lalu duduk. "Kamu tidur di atas saja. Biar aku yang di sini." Tempat tidur Daus ukuran single, jadi tidak mungkin kan kita berdua satu tempat tidur. Sebetulnya aku tak enak hati melihat dia menyilakan aku tidur di kasurnya. Tapi aku mengangguk, karena aku tak biasa tidur beralas tikar.

Bermenit kemudia, aku tak bisa memejamkan mata. Tubuhku berbalik, berguling, ke kanan, ke kiri, terlentang, tengkurap. Tapi mata ini tetap saja melek. Sedang Daus langsung terlelap, terdengar dari dengkur halusnya. 

Aku tidak mengerti. Apa yang kumau. Apa yang kucari. Semua tampak samar-samar. Yang kutahu saat ini aku hanya ingin rasa hampa ini menghilang. Kulirik Timex di pergelangan tangan kananku. Sudah jam setengah tiga. Dan mataku tetap saja nyalang. 

Jam tiga, Daus terbangun dan tampak heran melihat aku tetap terjaga. "Kok masih melek?" tanyanya. "Nggak bisa tidur!" jawabku.
Daus keluar kamar lalu kembali ke dengan wajah basah. "Mau ikutan tahajud? Kalau mau wudhu, ayo kuantar ke kamar mandi." 
Aku mengikuti Daus. Setelah wudhu dan akan berbalik ke kamar, ternyata di ruang tengah sudah ramai sajadah ditata berjajar. Tak sampai lima menit seluruh penghuni kontrakan Daus sudah berkumpul dan menempati posisi masing-masing. Aku dan yang lain di posisi makmum, Daus di posisi imam.

Lantunan ayat suci Al Quran terdengar sangat syahdu, menelusup diantara kesunyian malam. Anehnya bukan kesunyian menggigit yang tercipta. Justru ketenangan yang mulai mengisi relung-relung ruang hampaku. Dan bagai anak kecil saja.....tiba-tiba aku menangis sesenggukan, di dalam sholat.

Dua rakaat tahajud ditambah tiga rakaat witir bahkan terasa kurang bagiku. Ingin rasanya mengulang kenikmatan itu. Setelah itu Daus tilawah Quran. Yang lain juga ada yang membaca Quran, ada yang berdoa, dan ada pula yang berzikir. Aku tidak membawa Al Quran. Jadi kucurahkan saja isi hatiku pada Allah dalam untaian doa. Perasaanku kini jauh lebih tenang. 

Daus lalu mengajakku ke dapur untuk membuat mie untuk makan sahur. Besok hari Kamis. Seperti biasa Daus puasa sunnah. Aku jadi ikut-ikutan mau puasa besok. "Mienya internet ya. Indomie pakai telor dan kornet." kataku menyebut model masak mie yang sering dibuat Mbok Mar di rumah. Daus mencibir. "Kornet dari mana? Mana sanggup? Anak kos nih!" Aku terkekeh. Entah kenapa walau tanpa tambahan apa-apa, tapi mie buatan Daus terasa sangat nikmat di lidahku. Kami makan dengan lahap.

Adzan Subuh dan seluruh penghuni kontrakan Daus bersiap dan sholat Subuh di masjid yang hanya berjarak 50 meter. Bisa dibilang ini pertama kalinya aku sholat Subuh di masjid. Jumlah jamaah sedikit sekali. Hanya 5 orang bapak-bapak, plus 8 anak kontrakan Daus, ditambah dengan aku. Lalu kemana yang lainnya? Bukankan penduduk kompleks ini mayoritas muslim? Ehm...aku tersipu sendiri dengan pertanyaan yang muncul di pikiranku. Aku yakin mereka seperti aku. Sekadar bangun untuk sholat Subuh lalu kembali meringkuk atau malah yang lebih parah lagi : tetap terlelap walau adzan telah memanggil.

Usai shalat, imam memberikan kultum. "Laki-laki itu wajib shalat di masjid. Dahulu pernah ada seorang lelaki buta yang minta ijin kepada Rasulullah saw untu tidak sholat di masjid. Dan Rasulullah saw tetap tidak mengijinkan, tetap menyuruhnya sholat di masjid. Kalau orang buta saja tidak diberi dispensasi, bagaimana dengan yang masih muda, kuat, dan sehat?"

Aku senyum-senyum sendirian. Yah....padahal jarak masjid terdekat dari rumahku tidak jauh. Padahal kalau jogging atau bersepeda pagi-pagi aku sanggup sampai berkilometer. Padahal aku rela saat Subuh lari pagi di Senayan, demi semangkuk bubur ayam, santapan wajib setelah olahraga. Aku malu, entah pada siapa.

Hari itu aku tidak berangkat kuliah. Setelah sampai di kamar Daus, rasa kantuk datang menyerang. Semalaman aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. "Daus, aku ngantuk berat nih!" kataku dengan mata sayu. "Aku mau tidur. Nanti kalau ke kampus, tolong absenin!"
"Uh, tak usah ya! Mau suruh aku berbuat curang?"
"Ayolah, sekali ini saja. Masa bantu teman nggak mau sih?" rayuku.
"Syarat kehadiran cuma 75%. Berarti dosen-dosen itu sangat mengerti kalau mahasiswanya itu kadang-kadang ada kepentingan yang membuat tidak bisa masuk kuliah. Kenapa harus bohong isi absen padahal tidak masuk? Pakai saja hak kita untuk tidak masuk kuliah, yang 25%-nya!"
Aku menepuk jidatku sendiri sambil terkekeh. "Betul juga katamu. Asyik juga ya......kita punya hak untuk membolos. Ya sudah, aku tidak jadi pesan absennya." Segera kupeluk guling dan semenit kemudian aku terdampar di alam mimpi.

Setelah hari itu, aku minta ijin ke Papa dan Mama untuk sementara tinggal di rumah kontrakan Daus. Mama kebetulan sedang ke Australia, menemani kakakku yang mengambil Master di sana. Papa tidak keberatan, asal aku tetap komunikasi dengan rumah. Aku belum sanggup untuk sendirian. Aku tak mau rasa kehilangan akan Sabrina menyergapku lagi.

*************************

Di kontrakan Daus, aku tidak pernah merasa kesepian. Ada Daus yang siap berceloteh menghiburku atau kadang-kadang bawel menceramahiku. Ada teman-teman Daus satu kontrakan. Bergaul dengan mereka sehari-hari dalam 24 jam memberikan suatu pencerahan bagiku. Bangun sebelum Subuh, shalat tahajud dan Subuh bersama. Lalu beraktivitas dalam kesibukan masing-masing. Ada yang belajar atau mengerjakan tugas-tugas kuliah. Ada yang piket membereskan rumah, menyapu, mengepel, memasak air. Ada yang mencuci baju atau menyeterika. Ada yang antri kamar mandi. Dan ada pula yang melanjutkan meringkuk di balik selimut, yaitu aku.

Siang sampai sore, kontrakan berubah senyap. Semua sibuk di kampus masing-masing. Maghrib dan Isya sholat berjamaah di masjid. Setelah itu makan malam. Baru kutahu Daus ternyata pandai memasak. Walau masakan sederhana macam sop, sayur asem, lodeh, dan sekali-kali ayam bumbu kecap atau semur daging. Daus adalah pecinta tahu. Aku tahu karena ia sering sekali masak tahu. Tahu bumbu bali, tahu bacem, semur tahu, tahu telor, oseng-oseng tahu.....pokoknya segala yang berbau tahu.

Lama-kelamaan aku ikut-ikutan piket di kontrakan. Ternyata mencuci piring, menyapu dan mengepel itu asyik juga. Bahkan mencuci celana dan jacket jeans yang berat, kuanggap fitness gratis. Aku menikmati kehidupan di kontrakan Daus, yang jelas-jelas sangat berbeda dengan di rumah.

Kampus kini jadi tempat pelampiasanku memuaskan diri bersama nikotin. Merokok bagiku adalam pelampiasan sekaligus obat. Rasanya setiap kali gumpalan asap rokok menari-nari di hadapanku, rasa sakitku kehilangan Sabrina pun sirna. Yang jadi masalah hanyalah sekarang aku jadi susah untuk merokok. Merokok di kontrakan Daus rasanya jengah. Mereka satu pun tak ada yang merokok. Aku pun takut nanti di akhirat mereka semua menuntutku karena terganggu oleh asap rokokku. Tapi heran, diantara mereka tak ada yang melarangku merokok secara langsung, walaupun mendapatiku sedang merokok di teras. Paling banter mereka menjauh dari asapku. Keesokan harinya Togar, pemuda dari Tarutung memberiku sekantong besar permen mint sambil berpesan, "Setiap kali kau ingin merokok, tahanlah! Kau ambil saja permen ini sebagai gantinya." Akhirnya aku kaget sendiri. Jumlah rokok yang kukonsumsi perharinya berkurang drastis setelah aku tinggal bersama Daus. Bahkan rasanya mulutku jadi tidak enak kalau merokok. Lebih enak mengulum permen dari Togar.

Daus mengemblengku habis-habisan macam di pesantren saja. Ia tidak memperbolehkanku tidur sebelum aku menyelesaikan 1 juz dalam sehari semalam. Kalau aku pura-pura tidur, digelitikinya kakiku, atau digodanya aku dengan segelas susu atau semangkuk indomie. Awalnya berat, apalagi aku masih terbata-bata. Tapi banyak latihan justru membuat aku semakin lancar membaca Al Quran. Kemajuanku jauh melesat. 

24 jam aku bergaul dengan Daus dan teman-temannya. 24 jam aku dibimbing untuk menjadikan segala kegiatan sebagai ibadah. Semakin intens hubunganku dengan Al Quran. Semakin tenanglah jiwaku. Rasa hampa yang dulu menyelimuti telah pergi. 

**************

"Mama pulang besok, kamu juga pulang dong! Kamu tega ya sama Papa, masa ditinggal sendirian di rumah?!" Papa menghubungiku lewat telepon. "Besok kita jemput Mama sama-sama ke bandara."
"Iya Pa. Sekarang juga deh langsung pulang ke rumah." kataku menyanggupi. Dihitung-hitung cukup lama aku tinggal di kontrakan Daus. Sudah sampai hitungan bulan. Untung saja Mama keterusan betah di Australia menemani kakakku yang belum mau ditinggal sendirian. Kalau tidak, pasti aku sudah diomeli Mama gara-gara nginap di rumah teman tidak pulang-pulang. 

Sambil menjinjing tas ditangan, aku termangu berdiri di depan kamarku. Rasanya aneh. Seperti sudah bertahun aku meninggalkan kamar tercinta ini. Kamar bercat ungu tua, dengan satu dinding bercorak kotak-kotak hitam putih. Ada rasa kangen. Aku menghempaskan tubuh di atas springbed. Kupandangi satu persatu barang-barangku. Semua masih tertata rapi, bersih tanpa debu. Aku yakin Siti pasti membersihkan kamarku setiap hari walau kamar ini tidak digunakan. Rasa sunyi menyergap, hanya ada suara dengungan halus dari AC. Kusentuh tombol di remote stereo system, lalu suara Sade berkumandang dari CD player. Ordinary Love. 

Di depanku, bertumpuk-tumpuk kaset, CD, VCD. Mereka sudah berulang berputar, menemaniku sejak remaja. Mengisi hari-hariku. Menemaniku di saat-saat senang dan sedihku. Mereka, sejak zaman AHA, Arcadia, Duran-Duran, NKOTB. Lalu White Lion, Scorpion, Fire House, Red Hot Chili Peppers, Guns 'N Roses, Metallica, Nirvana, Eagles, Gorky Park. Poster-poster mereka yang sempat menghisasi kamarku. Lalu sang dewa gitar yang pernah kupuja, Yngwie Malmsteen dan Joe Satriani. Aku merasa punya kedekatan emosional dengan Yngwie karena konon aku mirip dengannya. Minus rambut gondrong tentunya.
Kemudian lagu-lagu yang sweet, Mariah Carey, Whitney Houston, Boyz II Men, Celine Dion, David Foster, Brian McKnight, George Benson. Lalu Fourplay, The Brand New Havies, Incognito, Yellowjackets, The Rippingtons, Bob James, George Duke, Michael Franks, David Sanborn, Sade, Siedah Garrett. Tiupan saxophone Dave Koz, Richard Eliot dan Eric Marienthal. Dentingan piano dari David Benoit. Petikan gitar dari para dewa gitar jazz, Earl Klugh, Lee Ritenour, dan Stanley Jordan.

Semuanya, walau tak menyebut satu persatu dari semua koleksi. Walau tak mungkin menyebut setiap lagu dan memori yang menyertainya. Tapi semuanya membuatku rindu. Serindu aku pada Sabrina. Kamar ini terasa kosong dan dingin, padahal baru saja aku dari tempat Daus yang ramai dan hangat. Kosong ini membawa ingatanku kepada Sabrina, seiring lantunan suara Sade dalam lagu King of Sorrow. 

Hampir dua bulan ini aku tidak pernah mendengarkan lagu. Setiap kali aku mencoba menyetel kasetku di kamarnya, Daus selalu menggantinya, entah dengan bacaan Al Quran atau dengan nasyid. Begitu juga kalau berangkat dan pulang dari kampus di mobil. Daus selalu menggantinya dengan murottal yang selalu dibawanya di dalam walkman. Masih kuingat kami yang saling berbantah-bantahan. Aku merasa kalau di mobil Daus tidak berhak menggantinya, walaupun dengan bacaan Al Quran, karena ini kan mobilku. Tapi kalau di kamarnya bolehlah dia mengganti. Itu kan kamarnya. Aku tantang ia menjelaskan hukum mendengarkan musik dan lagu. 

"Sebetulnya masalah musik dan lagu ini ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang mutlak mengharamkan dan ada yang membolehkan." Daus menjelaskan. 
"Tuh kan ada yang boleh. Kalau ada yang bilang boleh ya berarti boleh!" tukasku ngotot.
"Nanti dulu, aku belum selesai, " sahut Daus.

"Para ulama mengharamkan musik disandarkan kepada beberapa hadits. Tapi setelah diteliti hadits-hadits itu lemah. Sedangkan dalam beberapa riwayat ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah disambut dengan shalawat badar yang dinyanyikan oleh seluruh penduduk Madinah baik laki-laki maupun perempuan. Rasulullah saw juga membolehkan adanya rebana saat pernikahan. Menurut DR Yusuf Qardhawy, setelah diteliti dari berbagai ayat dan hadits, hukum nyanyian pada dasarnya boleh, karena tidak ada nash yang mutlak mengharamkannya. Tapi ada beberapa catatan, seperti syair dan cara menyanyikan lagu tidak boleh bertentangan dengan syariat, tidak mengandung sensualitas, tidak dibarengi dengan sesuatu yang haram, dan tidak berlebihan dalam mendengarkan."

"Kalau lagu romantis?" tanyaku.
"Romantis itu kan cinta-cintaan. Membuat orang yang jatuh cinta makin rindu, padahal belum jadi istri atau suami. Biasanya yang menyanyi juga pakai mendesah-desah, atau gayanya sensual. Pikiran jadi melayang-layang. Ini sih jelas hukumnya haram." kata Daus. "Lagu yang sedih juga bisa membuat perasaan jadi mengharu biru dan tambah sedih. Ini juga tidak boleh."

"Kalau begitu yang boleh yang seperti apa?"
"Ulama juga masih berbeda pendapat, tapi pada dasarnya nyanyian yang membawa kita mengingat Allah, yang berisi nasehat, memberi semangat ke-Islaman, dan semacam itu masih dibolehkan."
"Semacam nasyid, begitu ya?"
"Ya! Betul! Tapi kalau terlalu banyak mendengarkan nasyid, juga tidak boleh lho. Sesuatu yang berlebihan itu kan tidak boleh."
"Wahhhh......susah juga nih! Dengerin nasyid banyak-banyak juga nggak boleh. Jadi yang boleh banyak-banyak dengerinnya itu apa dong?" tanyaku protes.
"Yang boleh banget itu bukan dengerin nyanyian, tapi mendengarkan ayat-ayat Al Quran. Lebih bagus kalau berusaha mengerti artinya. Lebih bagus lagi kalau Al Quran ihafal. Kamu tahu? Si Togar itu bercita-cita jadi penghafal Quran. Dia Alhamdulillah sudah hafal 10 juz."

"Hahh??!! 10 juz? Hafal semua tuh? Apa nggak ketuker-tuker ayatnya, suratnya? Kok bisa ya?"
"Ya bisa dong. Jangan norak begitu dong ah! Temanku banyak kok yang hafidz, hafal Quran. Mau kukenalkan sama mereka? Supaya kamu bisa belajar dari mereka." Daus tersenyum memandangku.
"Heh, ngomong-ngomong kamu sudah hafal berapa juz?" tanyaku penuh rasa ingin tahu.
Kala itu Daus cuma tersenyum simpul tak menjawab. Dugaanku sudah berjuz-juz, kutahu dari bacaannya ketika mengimami sholat tahajud.

Hidup dua bulan tanpa nyanyian, berteman murottal dan sesekali nasyid. Dan kini baru saja menginjakkan kaki di kamar sendiri, aku sudah tergoda. Memutar lagu, mengingat-ingat Sabrina. Oh tidakkkkkkkkk! STOPPP!!! Kuraup semua koleksi kaset, CD, dan VCDku, kumasukkan ke dalam kantong plastik besar, dan kuserahkan pada Mbok Mar. "Mbok, ini dibuang ya. Kalau bisa dibakar saja dulu." Mbok memandang wajahku dengan tatapan penuh tanya. "Ini kan kasetnya Aden. Apa enggak sayang?" 
"Si Mbok! Nggak usah dibilangin saya juga tahu ini punya saya!" bentakku. Lalu suaraku melunak,"Tolong Mbok Mar bakar saja. Saya sudah tidak butuh." Aku menutup perintahku dan membalikkan badan.

Yah....kuakui.....IT'S SO HARD TO SAY GOODBYE TO YESTERDAY. Terutama pada semua yang kucintai. Sabrina, musik, dan kebiasaan burukku. Yesterday is yesterday. Sabrina sudah meninggal. Mungkin kelak ia akan jadi bidadari surga. Aku pun kelak akan menemukan bidadariku sendiri, entah di dunia atau di surga. Ya, kelak, kalau aku telah pantas mendadapatkan bidadari ataupun surga.

GOODBYE YESTERDAY! Bagaimanapun episodeku cintaku pada Sabrina telah menggoreskan pelajaran yang mendalam. Membawaku kepada perjalanan mencari cinta yang sejati.

alhamdulillah. tamat.

sudut pinggir jakarta, 2 Muharam 1426 H
by [:yaraf:]

syukron untuk semua email yang masuk yang telah memberi semangat untuk dapat menyelesaikan kisah ini. 
afwan terbit di milis dt tidak sesuai dengan janji. 
jazakumullah.